Beberapa hari belakangan ini ( bulan September ) masih dalam bulan Romadhan. Tersiar berita di stasiun tv tentang cerita seonggok daging.
Sebuah cerita tentang pembunuhan sapi yang sangat sadis, dimana sapi disuruh minum air sampai pembuluh darahnya pecah dan sekarat. Baru kemudian sapi di sembelih. Proses penyembelihan yang sangat sadis ini mengakibatkan berat daging si sapi bertambah berat sampai 40% karena kandungan air yang sangat jenuh.
Daging yang sangat jenuh air ini disebut daging glonggongan.
Tidak hanya sapi yang dibuat mabuk oleh air, ayampun tak luput dibuat mabuk. Tapi ayam cara memasukkan air berbeda dengan sapi, pada ayam air dimasukkan dengan menyuntik ayam dengan air, sampai beratnya bertambah.
Daging ayam atau sapi yang jenuh air, biasanya beredar pada pasar - pasar tradisional dengan harga yang cukup miring. Tapi pembodohan komsumen seperti ini sangat merugikan konsumen karena daging bisa terkontaminasi dengan bakteri, dan karena berat daging bertambah sampai 40% maka berat bersih dari daging seperti ini adalah hanya 50% nya.
Kalau sudah begini bagaimana pasar tradisional bisa bersaing dengan pasar moderen yang lebih bersih dan nyaman ( walaupun kita tetap harus waspada dengan tanggal kadaluarsa ).
Selain daging glonggongan, di masyarakat juga beredar yang namanya daging sisa dari hotel, rumah makan, atau pasar.
Daging - daging yang sudah menjadi sampah bahkan tak jarang sudah membusuk, bau, berbelatung dan tercampur dengan sampah - sampah yang lain ini disisihkan oleh para pemulung kemudian di serahkan pada pengepul. Dari pengepul ini kemudian daging sisa ini di olah kembali menjadi makanan dengan harga yang sangat murah tapi sangat tidak sehat.
Sudah parahkah perekonomian Indonesia saat ini, sampai - sampai segala cara dilakukan baik halal atau haram untuk memperoleh rupiah.
Hati - hati terhadap apa yang kita beli, kita santap, dan kita pakai.